Selasa, 03 September 2013

Remaja dan Kemerdekaan


Menjelang perayaan kemerdekaan 17 Agustus, ada satu pemandangan memprihatinkan di pinggir-pinggir jalan Raya atau perempatan Kota Bandung, yaitu para remaja yang mengumpulkan dana untuk kegiatan perayaan kemerdekaan dengan meminta-minta dari para pengguna jalan. Selain menghambat laju kendaraan, perilaku para remaja ini juga terkesan kurang simpatik. Karena sebagian remaja putrinya mempergunakan kesempatan ini untuk mejeng dengan menggunakan pakaian-pakaian yang mengumbar aurat.
Ada juga sebagian kelompok remaja tersebut yang menawarkan air mineral kemasan dengan harapan pengguna jalan memberikan uang lebih untuk mereka. Atau ada juga yang membalutnya dengan kreativitas ala mereka, seperti yang dipertontonkan para remaja di perempatan Pelajar Pejuang-Buah Batu. Mereka membalut tubuhnya dengan cat warna-warni sambil berpantomim menyodorkan kardus-kardus untuk diisi uang oleh para pengguna jalan.
Meski demikian, perilaku tersebut bukan berarti dapat dibenarkan. Karena selain mengganggu laju kendaraan, apa yang mereka lakukan justru memperlihatkan rendahnya daya juang dan kreativitas mereka dalam mencari dana. Sebenarnya masih banyak alternatif lain untuk menggalang dana. Mereka bisa berjualan berbagai jenis makanan atau produk olahan mereka sendiri atau orang lain. Mereka juga bisa berjuang lewat diplomasi untuk mendapatkan sponsor, atau cara-cara lain yang tidak bersifat meminta-minta.
Apalagi kegiatan yang mereka rancang tidak selamanya bersifat edukatif atau sosial. Sebagian besar remaja panitia kemerdekaan lebih menonjolkan acara yang bersifat hura-hura, seperti panggung hiburan yang diisi oleh pagelaran dangdut atau band yang tidak jarang diwarnai dengan mabuk-mabukan dan perkelahian. Kalau begini, dimana sisi penghayatan semangat perjuangan yang seharusnya menjadi inti dari perayaan kemerdekaan.
Kondisi di atas hanyalah sekelumit sisi negatif dari keterlibatan remaja dalam perayaan kemerdekaan. Terlepas dari semua itu, ada banyak sisi positif yang dapat dilihat dari partisipasi aktif para remaja ini. Salah satu tugas perkembangan pada masa remaja adalah mereka harus mampu serta dalam kegiatan kemasyarakatan dan memperlihatkan partisipasi aktif sebagai warga negara sebagai wujud dari tanggungjawab sosial mereka.
Secara psikologis, kondisi masa remaja merupakan masa awal kematangan menuju masa dewasa. Pada masa ini mereka harus sudah mampu memperoleh dasar-dasar perilaku yang bertanggungjawab sebagai dasar mereka memasuki masa dewasa. Baik itu bertanggungjawab secara pribadi, sosial, bahkan agama. Dalam kaitannya dengan peran sosial, remaja sering disebut sebagai agent of change atau agen perubahan. Dengan kemampuan nalar yang telah mampu memformulasikan konsep abstrak dan menginternalisasinya dalam kehidupan, remaja dituntut untuk mempu mengembangkan konsep-konsep hukum, pemerintahan, ekonomi, politik, geografi, serta lembaga sosial yang cocok dengan dunia modern. Remaja pun dituntut untuk mampu mengembangkan keterampilan nalar yang penting bagi upaya pemecahan masalah-masalah secara efektif.
Dalam istilah psikologi dikenal apa yang disebut dengan kognisi sosial, yaitu bagaimana seseorang membentuk konsep dan penalaran mengenai dunia sosial mereka, termasuk hubungan pribadinya dengan orang lain. Pada remaja, kognisi sosial banyak dipengaruhi oleh egosentrisme dan idealisme.
Egosentrisme adalah penyebab inti mengapa remaja seringkali berperilaku berani mengambil resiko tinggi dan tanpa pertimbangan terutama pada remaja yang lebih muda. Mereka memandang diri mereka kebal fisik, kebal sangsi hukum, serta tak terkalahkan. Sejalan dengan kematangan remaja, egosentrisme berubah menjadi lebih matang di mana remaja memahami dan mempertimbangkan berbagai resiko yang akan dihadapinya dalam setiap perbuatannya. Namun, hal itu bukan membuatnya menjadi takut berbuat, namun menjadi orang yang lebih berani menghadapi resiko yang sudah dipertimbangkannya.
Adapun idealisme mendorong remaja untuk membayangkan dunia idealnya yang bebas dan sepi dari berbagai kekacauan. Kedua kemampuan ini diharapkan mampu membawa remaja mampu mengembangkan keterampilan intelektual dan konsep-konsep yang diperlukan dalam merancang masa depan diri dan bangsanya.
Meskipun pada dasarnya, remaja telah memiliki potensi untuk terikat pada lingkungan sosialnya. Namun tidak mudah mengikat mereka dalam sebuah kelompok atau lembaga sosial dan membuatnya mampu dan mau berkorban untuk kelompok sosialnya. Apalagi dengan kemewahan dan warna-warni dunia saat ini. Jarang sekali kita dapat menemui remaja yang betul-betul mau terlibat dalam kegiatan sosial dan mau berkorban demi bangsa dan negaranya. Kalaupun ada, tidak sedikit dari mereka yang berperilaku peduli terhadap lingkungan sosialnya hanya sebagai konformitas belaka.
Lantas, dimana mengendapnya pembelajaran sosial, kewarganegaraan, atau Pancasila yang telah diberikan sejak di bangku Taman Kanak-kanak hingga tingkat Perguruan Tinggi. Bahkan di zaman Orde Baru yang lalu di setiap jenjang pendidikan, pemerintahan, serta penerimaan PNS selalu diberikan penataran P4. Hasilnya adalah para pejabat yang rela korupsi, pegawai negeri yang mau berkolusi, serta para pelajar yang senang ber-ekstasi.
Oleh karena itu, selain kognisi sosial dalam istilah psikologi juga dikenal istilah sosialisasi kognitif, yang lebih menekankan kepada peran lingkungan sosial dalam memupuk dan mengembangkan kemampuan nalar remaja untuk mampu menampilkan perilaku yang bertanggungjawab sebagai bagian dari lingkungan sosialnya. Lingkungan sosial memiliki peran untuk mendorong remaja memiliki kesadaran mau berkorban dan memberi penghargaan terhadap lingkungannya.
Jadi, jika kita melihat kondisi remaja sekarang yang cenderung senang kepada hura-hura dan kemewahan, bahkan seolah kehilangan kepekaan sosial tidak lain adalah bagian dari kondisi lingkungan sosialnya secara keseluruhan. Artinya, jika remaja Indonesia kurang memiliki kemampuan dan kemauan berkorban dan berjuang demi orang lain, lingkungannya bahkan lebih jauh demi bangsanya, tidak lain itu merupakan gambaran keseluruhan warga Indonesia.
Perayaan kemerdekaan yang dilakukan setiap tahun tidak mampu membangkitkan nasionalisme bangsa ini. Hingga 62 tahun negeri ini merdeka sulit sekali –bukan berarti tidak ada- menemukan remaja yang mampu memberikan perubahan berarti bagi kemajuan bangsa dan negaranya. Padahal jika kita melihat lagi ke belakang, berbagai upaya menuju kemerdekaan bangsa ini dahulu selalu diawali oleh para remajanya.
Ada sesuatu yang kurang dalam nasionalisme yang selama ini diusung dalam upaya membangkitkan kemauan dan kesadaran berjuang demi bangsa bagi para remaja. Pencekokan nilai-nilai nasionalisme yang disampaikan kepada para remaja tidak disertai dengan teladan dan perilaku nyata dari para penyampainya. Selain itu, tidak adanya nilai yang mampu menjadi “ruh” bagi nasionalisme yang seharusnya tertanam dalam diri remaja. “Ruh” yang dimaksud adalah nilai yang mampu mengikat dan menjadi dasar pegangan bagi para remaja dalam mengaplikasikan nasionalisme dalam kehidupannya. Ruh tersebut bersifat transenden dan merupakan bagian dari keyakinan hakiki.
Nilai yang dapat menjadi ruh tersebut adalah nilai-nilai yang didasarkan pada landasan agama yang merupakan keyakinan hakiki dan dapat menjadi pegangan serta penggerak bagi remaja dalam menumbuhkan kemampuan dan kemauan berjuang dan berkorban bagi bangsanya. Hal ini menunjukkan penanaman nilai-nilai nasionalisme harus dilandasi dan diawali dengan penanaman nilai-nilai agama dalam diri remaja.
Sejarah membuktikan perjuangan yang dilandasi tidak semata dengan nilai kebangsaan, namun dilandasi dengan nilai-nilai agama mampu melahirkan para pejuang yang rela berkorban sampai titik darah penghabisan. Mereka menjadi orang-orang yang lebih mencintai kematian dalam berjuang.

Semoga di tahun ke 68 Indonesia merdeka, hal ini telah mampu disadari oleh berbagai elemen bangsa. Sehingga, mampu melahirkan para remaja penerus bangsa yang siap berjuang dan berkorban demi mencapai kemerdekaan yang sejati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar