Sabtu, 28 September 2013

Golden Age

     Golden Age atau masa keemasan sering dikaitkan dengan masa pertama perkembangan manusia. Para pakar berbeda pendapat tentang rentang usia golden age ini, ada yang mengatakan 0-3 tahun,0-5 tahun, ada pula yang mengatakan 0-8 tahun.  Istilah golden age sendiri diperkenalkan oleh Sigmund Freud, seorang tokoh psikologi beraliran psikoanalisis. Istilah ini merujuk pada pentingnya memberikan perhatian yang lebih pada rentang usia awal masa pertumbuhan anak-anak.
     Setidaknya ada dua ciri perkembangan yang penting pada masa ini, sehingga disebut sebagai masa peka. Pertama pertumbuhan fisik anak yang terjadi sangat pesat dan dramatis. Kedua pada perkembangan cara berpikirnya.
Pertumbuhan fisik pada masa awal anak-anak sangat pesat. Hal ini terjadi pada fungsi-fungsi syaraf dan motorik. Terjadi proses myelinization (proses pembentukan lapisan urat syaraf dalam otak). Lapisan ini membantu impuls-impuls syaraf secara cepat yang memungkinkan pengontrolan terhadap kegiatan-kegiatan motorik lebih seksama dan efisien. Dibutuhkan nutrisi yang baik yang dapat menunjang baiknya pola pertumbuhan fisik pada masa ini.
 Perkembangan berpikir anak pada masa ini berada pada tahap pra-operasional, ditandai dengan: 1)symbolic function, kemampuan menggunakan sesuatu untuk mewakili sesuatu yang lain dengan menggunakan symbol; 2) semiotic function, kemampuan menggunakan symbol untuk menggambarkan suatu benda atau peristiwa. Dengan kemampuan ini anak memiliki imajinasi dan daya kreatifitas yang tinggi. Sehingga dibutuhkan stimulasi yang baik agar perkembangan cara berpikirnya dapat dioptimalkan.

#ODOPfor99days
#day96

Kamis, 12 September 2013

Khitbah ≠ Nikah

Istilah khitbah saat ini sudah tidak asing lagi di kalangan masyarakat Islam khususnya. Namun, fenomena khitbah yang terjadi di masyarakat tersebut banyak yang bercampur dengan kebiasaan-kebiasaan yang salah dan menyimpang dari hakikat khitbah sebenarnya. Tulisan ini akan mencoba menyoroti sedikit fenomena tersebut untuk kemudian meluruskan dan mengembalikan makna khitbah yang sebenarnya.
Khitbah atau yang lebih dikenal dengan lamaran merupakan satu langkah menuju proses pernikahan. Menurut Syaikh Sayyid Sabiq dalam Kitab Fiqhussunnah, khitbah merupakan proses awal sebelum menikah, dimana seorang laki-laki mengutarakan keinginannya untuk menikahi seorang perempuan. Khitbah bisa dilakukan dengan berbagai cara yang lazim dilakukan, dengan tetap memperhatikan batasan-batasan syar’i.
Ada dua hal yang harus dilakukan saat khitbah, yaitu : (1) melihat rupa, dan (2) ta’aruf. Melihat rupa dianjurkan oleh Rasulullah melalui sabdanya,
أن النبي ص قال : لرجل تزوج  امرأة أ نظرت إليها؟ قال : لا.قال : اذهب  فانظر إليها –رواه مسلم-
“Sesungguhnya Nabi saw bersabda -kepada seorang laki-laki yang hendak menikahi seorang perempuan- : Sudahkah kau lihat dia? Dia menjawab: Tidak. Rasul bersabda : Pergilah dan lihatlah dia” (HR Muslim).
Para ulama bersepakat bahwa melihat di sini adalah melihat apa yang nampak saja yaitu wajah dan telapak tangan, tidak lebih dari itu. Sedangkan taaruf merupakan upaya untuk mengenal sifat, kebiasaan serta aktivitas masing-masing. Bisa melalui obrolan langsung atau melalui perantara orang yang mengenal dekat calon pasangan. Baik melihat atau taaruf harus dilakukan oleh kedua belah pihak, agar muncul adanya rasa tertarik dan kecocokan yang akan menumbuhkan mawaddah dalam hidup berumahtangga.
Salah satu fenomena yang terjadi sekarang adalah proses khitbah atau lamaran justru baru dilakukan setelah kedua belah pihak telah mengenal sejak lama bahkan telah menjalin sebuah hubungan. Padahal Islam mensyariatkan khitbah sebagai sarana untuk mengenal dan memulai sebuah hubungan yang akan dilanjutkan dengan pernikahan. Taaruf dilakukan manakala telah ada keinginan dan niat untuk menikahi seorang perempuan. Tidak ada syariat lain selain khitbah sebelum memasuki jenjang pernikahan, termasuk pacaran yang bukan merupakan tradisi Islam.
Sebagai langkah awal menuju pernikahan, artinya khitbah haruslah dilanjutkan segera dengan pernikahan. Jika kedua belah pihak telah mengenal dan merasakan adanya kecocokan, menikah merupakan kewajiban bagi keduanya. Hal ini merupakan tanggungjawab orangtua atau wali untuk segera menikahkan putrinya manakala telah menemukan seseorang yang cocok dengannya. Mensegerakan nikah dalam situasi seperti ini menjadi kewajiban sebagai upaya preventif munculnya fitnah.
Khitbah hanyalah proses menuju pernikahan dan tidak sama dengan nikah, artinya khitbah tidak menghalalkan apa pun yang dihalalkan setelah menikah. Fenomena yang terjadi -bahkan di kalangan aktivis organisasi Islam- pasangan yang telah melakukan khitbah merasa bebas untuk pergi berduaan tanpa muhrimnya, bahkan naik kendaraan bermotor berdua. Khalwat atau berdua-duaan bukan saja haram dilakukan di tempat sepi, bahkan di keramaian. Sebagaimana Rasul telah menegaskan,

من  كان يؤمن بالله و اليوم الأخر فلا يخلون بامرأة ليس معها ذو محرم منها فإن ثالثها الشيطان

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka janganlah berdua-duaan dengan perempuan tanpa ada muhrimnya yang menemani (khalwat), karena sesungguhnya Syetanlah yang ketiganya”.
Islam selalu mengajarkan umatnya untuk menghindari madharat dengan berbagai cara yang tidak menimbulkan mafsadat. Khalwat merupakan salah satu cara preventif untuk melindungi kehormatan serta kesucian diri dan hati setiap insan. Khalwat tetap haram dilakukan walaupun tidak diiringi dengan pegangan tangan bahkan yang lebih dari itu. Tidak ada hal yang dapat menggugurkan hukum khalwat kecuali kondisi madharat, yang dapat menimbulkan mafsadat yang lebih besar, seperti kecelakaan, kematian, dan sebagainya. Salah satu contohnya apa yang terjadi pada Siti Aisyah dan Shafwan bin Mu’aththol. Waktu itu Siti Aisyah tertinggal dari rombongan, dan ditemukan oleh Shafwan. Siti Aisyah kemudian diantar pulang oleh Shafwan sampai ke Madinah.
Seseorang tidak boleh mengkhitbah wanita yang telah dikhitbah oleh laki-laki lain. Begitu pula sebaliknya seorang wanita tidak boleh menerima khitbah seseorang, manakala dia telah menerima khitbah orang lain. Khitbah bersifat mengikat, namun ikatan dalam khitbah -sekali lagi- tidak menghalalkan apa pun yang dihalalkan setelah menikah. Untuk itu ikatan dalam khitbah pun tidak se-“mutlak” ikatan dalam pernikahan. Pembatalan khitbah dapat dilakukan kapan saja, manakala salah satu pihak merasakan ketidakcocokan terhadap pilihan tersebut. Namun, Sayyid Sabiq menegaskan bahwa khitbah yang telah disepakati merupakan sebuah janji. Jika seorang muslim menyalahi janjinya, maka itu merupakan ciri orang munafiq. Kemudian muncul pertanyaan bagaimana dengan pemberian yang biasa diberikan saat khitbah, jika khitbah dibatalkan. Maka, lebih lanjut Sayyid Sabiq menyatakan bahwa yang namanya pemberian itu tidak boleh diambil kembali, sesuai sabda Rasul,
العائد في هبته كالعائد في قيئه – رواه أصحاب السنن –
“Orang yang meminta kembali pemberiannya bagaikan orang yang meminum kembali muntahnya”
Sebenarnya pemberian dalam khitbah tidak termasuk apa yang disyariatkan, hanya sebuah kebiasaan yang boleh dilakukan selama tidak bertentangan dengan syariat. Sebagaimana penyelenggaraan upacara khusus untuk khitbah pun tidak disyariatkan, berbeda dengan akad nikah yang memang dicontohkan oleh Rasul. Karena saat seorang laki-laki mengutarakan maksudnya untuk menikahi seorang perempuan, itulah khitbah. Kalau pun diselenggarakan sebuah upacara khusus untuk itu, tidak mengapa selama tidak berlebihan dan tidak bertentangan dengan syariat.
Menikah merupakan sunnah Rasul yang paling diminati. Selain bertujuan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan biologis, Islam mengajarkan agar menikah dilakukan dengan orientasi ibadah, guna mewujudkan keluarga sakinah, masyarakat tumaninah, dan negara yang maghfirah. Tahapan untuk mewujudkan keluarga sakinah mawaddah wa rahmah bukan dimulai setelah akad dilangsungkan, namun semenjak kita memilih calon pasangan. Bukan saja dalam menentukan kriteria calon pasangan tapi cara kita memilih dan mendapatkan pasangan pun ikut menentukan. Bukankah hasil yang baik akan dipetik dari usaha yang baik pula ? wallahu’alambishshawwab

Maraji’ :
Syaikh Sayyid Sabiq. Fiqhussunnah Jilid 2. Darul fikr

KH Aceng Zakaria. Tarbiyah an-Nisa. Ibnazka press

#ODOPfor99days
#day95

Rabu, 11 September 2013

Mengenal Disleksia: Gangguan Kesulitan Membaca

www.freedigitalphotos.net
Disleksia berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys yang berarti “sulit dalam …” dan lex yang berarti “berbicara”. Disleksia dimaksudkan sebagai suatu gangguan kemampuan yang berhubungan dengan kata atau simbol-simbol tulis. Disleksia pertama kali dikenalkan oleh Pringle Morgan pada tahun 1896. Ia menceritakan tentang seorang anak laki-laki berusia 14 tahun yang sangat pintar tetapi gagal dalam mengikuti pelajaran membaca dan menulis. Padahal anak itu sudah mendapat jam tambahan khusus untuk kedua mata pelajaran tersebut.
Anak yang menderita disleksia sering terpeleset dalam mengucapkan kata-kata sederhana, seperti gajah menjadi jagah. Kesalahan ini terjadi berulang kali dan permanen, artinya selalu salah. Mereka seringkali kacau dalam mengucapkan kata yang hanya sedikit berbeda susunan hurufnya, seperti “buku” dengan “duku”. Kesalahan tersebut sering pula diikuti dengan artikulasi suara, gagap, atau pembalikan konsep, seperti kacau dalam memahamai konsep atas-bawah, depan-belakang, dan sebagainya. Disleksia juga ditandai dengan kesulitan dalam menulis. Misalnya kacau antara huruf “d” dengan “b”, kata “pagar” ditulis “papar”.
Penyebab terjadinya disleksia, masih belum ditemukan secara pasti. Namun, banyak ahli berpendapat bahwa penyebab utama disleksia adalah gangguan fungsi otak. Sering terjadi pada belahan otak kiri maupun otak kanan. Penyebab gangguan otak tersebut antara lain kurangnya oksigen saat atau segera setelah lahir, kelahiran prematur, serta berat badan lahir rendah. Beberapa peneliti lain mengatakan bahwa penyebab disleksia adalah faktor keturunan (genetik).
Disleksia merupakan salah satu jenis kesulitan belajar yang spesifik. Karena disleksia terjadi pada anak normal yang tidak mengalami gangguan dalam fisik maupun psikisnya. Tingkat IQ penderita disleksia berada pada rata-rata, bahkan di atas rata-rata. Bila kesulitan membaca dan menulis terjadi dengan diriingi kesulitan dalam menerima pelajaran lain, hal itu bukan termasuk disleksia. Berdasarkan hasil penelitian kasus disleksia hampir 90% terjadi pada anak laki-laki.
Anak yang mengalami gangguan disleksia sebenarnya memiliki kemampuan yang menonjol dalam bidang lain. Namun, karena pola pendidikan di masyarakat kita masih menonjolkan kemampuan baca-tulis, akhirnya mereka tampak seperti orang bodoh. Jika hal ini tidak ditangani segera, akan sangat berdampak pada kemerosotan prestasi akademiknya. Tekanan dari orangtua, guru serta lingkungan agar anak bisa membaca dan menulis saat memasuki usia Sekolah Dasar akan sangat membuat anak tertekan. Untuk itu, baik orangtua atau pun guru harus memiliki kepekaan terhadap gangguan ini. Jika ditemukan adanya gangguan disleksia pada anak, perlu dilakukan penanganan sejak dini.
Pada anak usia pra-sekolah (4-5 tahun), disleksia ditandai dengan keterlambatan berbahasa atau tidak tampaknya bunyi dari suatu kata. Anak cenderung mengalami kesulitan bermain kata-kata yang berirama, kebingungan dalam menghadapi kata-kata yang mirip, serta mengalami kesulitan dalam belajar mengenal huruf.
Pada usia sekolah (mulai 6 tahun) biasanya keluhan berupa kurang tampil di sekolah, namun orangtua dan guru kurang menyadari bahwa anak tersebut sebenarnya mengalami kesulitan membaca. Biasanya anak akan terlihat lambat dalam berbicara, sulit belajar huruf di taman kanak-kanak, dan sulit belajar membaca di sekolah dasar. Anak tersebut akan semakin tertinggal dalam pelajaran, sedangkan guru dan orangtua merasa keheranan mengapa anak dengan kecerdasan yang baik mengalami kesulitan dalam membaca.
Kasus disleksia banyak ditemukan pada orang-orang terkenal. Salah satunya adalah Presiden AS George W. Bush, saat berkampanye dulu Bush berulang kali salah dalam mengucapkan beberapa kata seperti peacemaker (pencipta perdamaian) menjadi pacemaker (alat pacu jantung), ternyata dia pernah memiliki riwayat disleksia sebelum menjadi presiden. Tokoh lain seperti aktor Tom Cruise, penulis Agatha Christie, negarawan Lee Kuan Yew, serta aktris peraih piala Oscar Whoopi Goldberg, yang pernah mengalami drop-out dari SMAnya.
Hal ini menunjukkan, bahwa jika mendapatkan penanganan yang baik penderita disleksia juga bisa menjadi orang sukses. Karena gangguan yang terjadi pada dirinya hanyalah bagian kecil dari sekian banyak kemampuan lain yang dimilikinya. Peran orangtua dan guru sangat besar terutama dalam menumbuhkan rasa percaya diri dan membantunya menampilkan kemampuannya yang lain.
Kemampuan membaca dan menulis adalah kemampuan dasar, namun bukan berarti segala-galanya. Tekanan yang berlebih dari orangtua dan guru agar anak bisa membaca dan menulis tanpa memperhatikan adanya gangguan disleksia, dapat membuat anak frustasi. Salah satu hasil penelitian ABC News terhadap 94 remaja yang mengalami disleksia, dan 94 remaja yang tidak mengalaminya menunjukkan bahwa 19% dari kelompok penyandang disleksia pernah berpikir atau mencoba untuk bunuh diri.

Yang harus dilakukan saat ini oleh orangtua dan guru adalah mengenali gejala disleksia, siapa tahu itu terjadi pada anak atau murid anda. Setelah itu lakukan terapi khusus untuk mereka dalam rangka mereduksi kesulitan yang dialami. Kemudian tumbuhkanlah rasa percaya diri anak, dan bantu mereka untuk memunculkan potensi mereka yang lain, yang mungkin akan membuat mereka menjadi orang sukses. Banyak orang terkenal seperti Sir Winston Churchill, mantan perdana menteri Inggris, Sir Isaac Newton, penemu gaya tarik bumi, serta Albert Einstein, seorang ahli fisika yang dianggap anak bodoh sewaktu mereka kecil, namun kini dikenal banyak orang karena prestasinya. Wallahu alam bishshawwab.

Selasa, 10 September 2013

Bertanya Untuk Belajar; Belajar Untuk Bertanya

Pernahkah anda mendengar sebuah pepatah yang mengatakan “malu bertanya sesat di jalan”. Sebuah nasehat berharga yang menganjurkan kita untuk bertanya, mengemukakan kepenasaranan dan menyatakan ketidaktahuan. Bertanya memang tidak sulit, namun juga tidak begitu mudah. Buktinya banyak orang yang bingung saat dia harus bertanya. Seakan mulut terkunci untuk mengatakan sesuatu atau memang tidak terbersit satu ide pun untuk mengemukakan sesuatu.
Saat kita hendak bertanya sering muncul perasaan takut dan gelisah. Kita merasa takut ditertawakan atau bahkan diejek karena pertanyaan kita jelek. Padahal setelah kita mencoba untuk bertanya, semuanya lancar-lancar saja, tak ada yang menertawakan kita dan kekhawatiran kita tidak beralasan. Hal itu wajar, jika kemudian tidak membuat kita rendah diri, namun akan berbahaya jika kemudian kita membesar-besarkan rasa takut tersebut, karena akan membuat kita takut untuk bertanya selamanya.
Ketakutan untuk bertanya dapat diakibatkan rendahnya rasa percaya diri seseorang dan besarnya rasa curiga terhadap orang lain. Kondisi ini dapat dikategorikan sebagai communication apprehension (hambatan komunikasi) dan berkaitan dengan pengaruh self-concept (konsep diri) seseorang. Maka, untuk mengatasinya kita perlu mengkaji kembali self-concept kita. Tanamkan dalam diri bahwa kita mampu melakukan apa pun, kemudian atasi dengan meyakini bahwa diri kita sama dan setara dengan orang lain. Hindarkan perasaan curiga terhadap orang lain. Bukankah Rasulullah e selalu mengajarkan untuk selalu husnudzdzon ?.
Imam Syaf’I -seorang ulama- pernah berkata “Bertanya adalah kunci ilmu”, artinya dengan mau bertanya pintu ilmu akan mudah terbuka dan kita akan mudah mendapatkan ilmu yang kita inginkan. Oleh karena itu, bertanya merupakan salah satu teknik belajar yang cukup efektif. Salah satu metode belajar yang menggunakan teknik bertanya adalah metode tanya jawab dan diskusi. Bedanya jika pada metode tanya jawab, komunikasi yang terjadi bentuknya dua arah. Sedangkan pada metode diskusi, komunikasi yang terjadi berbentuk silang arah.
Bertanya pada dasarnya adalah mengemukakan rasa ingin tahu dan menyatakan ketidaktahuan kita. Bertanya juga merupakan salah satu bentuk eksplorasi pengetahuan. Oleh karena itu bertanya dilakukan dalam wawancara dan observasi. Dengan memberikan pertanyaan kepada narasumber yang kita wawancarai atau kita observasi, kita menjadi tahu apa yang mulanya tidak kita tahu.
Begitu banyak manfaat dari bertanya, karena ternyata dengan bertanya kita menjadi tahu, dan bila kita tahu artinya kita mempunyai ilmu. Namun, perlu diingat  bertanya pun harus memakai ilmu, artinya ada beberapa aturan dalam bertanya yang harus kita perhatikan. Karena meskipun hal yang mudah, bertanya memerlukan keterampilan yang pada hakikatnya berkaitan dengan keterampilan berkomunikasi. Di antara hal-hal yang harus diperhatikan itu adalah :

1.      Perhatikan penggunaan bahasa
Gunakan bahasa yang lugas dan tegas dalam bertanya. Jangan terlalu bertele-tele, karena akan menimbulkan bosan bagi orang yang diberi pertanyaan. Selain itu perhatikan pula jenis bahasa dan kata-katanya, jika orang yang kita tanya menggunakan bahasa yang baku, resmi dan ilmiah, jangan sekali-kali kita menggunakan bahasa “gaul”. Perhatikan pula tatakrama dalam berbahasa, karena tegas bukan berarti harus keras.

2.      Lihat tempat, situasi dan kondisinya
Pernah suatu ketika, saat Rasulullah e sedang mengajar shahabatnya dalam satu majelis. Tiba-tiba datanglah seorang Arab gunung, kemudian dia mengemukakan sebuah pertanyaan. Namun, Nabi tidak menjawabnya dan terus melanjutkan perkataannya. Barulah setelah Rasul e selesai menjelaskan, beliau menjawab pertanyaan orang tersebut.
Dari peristiwa itu, dapat kita simpulkan bahwa saat kita ingin bertanya kita harus memperhatikan tempat, situasi dan kondisi. Saat itu Rasulullah e sedang berada di majelis ilmu dan sedang memberikan penjelasan, oleh karena itu beliau tidak menjawab pertanyaan yang diajukan. Barulah setelah beliau selesai, beliau menjawabnya. Hal ini beliau lakukan, karena jika beliau menjawab pertanyaan di tengah penjelasan, maka akan terjadi ketidakjelasan terhadap ilmu yang sedang disampaikannya. Oleh karena itu, beliau memilih untuk melanjutkan dulu penjelasannya sebelum beliau menjawab pertanyaan.

3.      Ikuti aturan yang telah ditetapkan
Setiap orang memilki karakteristik sendiri, begitu juga dengan seorang guru. Adakalanya seorang guru itu memberikan aturan kepada muridnya untuk bertanya setelah beliau selesai menjelaskan. Namun, ada pula yang membolehkan kita untuk bertanya dengan memotong penjelasannya. Hal ini penting untuk kita hargai dan ikuti, karena hal itu termasuk kepada adab dalam menghormati guru.
Oleh karena itu, Nabi Hidlir menghentikan perjalanannya dengan Nabi Musa, saat Nabi Musa tidak dapat mengikuti aturan yang telah ditetapkannya untuk tidak bertanya terhadap apa yang akan dilakukannya. Namun, rasa penasaran dan keingintahuan Nabi Musa telah memaksanya untuk melanggar aturan itu. Sehingga akhirnya Nabi Hidlir menghentikan perjalanan dan memilih berpisah dengan Nabi Musa. Padahal jika Nabi Musa tetap bersama Nabi Hidir banyak ilmu yang dapat dipetiknya.

4.      Ingatlah untuk bertanya banyak dan bukan banyak bertanya
Bertanyalah sebanyak mungkin ilmu yang ingin kita ketahui saat kita memiliki kesempatan. Namun, jangan banyak bertanya, artinya banyak mengemukakan pertanyaan yang tidak mengandung ilmu dan bermaksud menghindari sesuatu yang lebih penting. Ingatlah bagaimana nasib Bani Israil yang terlalu banyak bertanya, saat Nabi Musa memerintahkan mereka untuk menyembelih seekor sapi. Akhirnya mereka sendiri yang kesulitan mencari sapi itu, karena ciri-cirinya yang sulit dicari. Hal ini diakibatkan mereka banyak bertanya dengan maksud menghindari perintah Nabi Musa. Mereka berharap Nabi Musa tidak bisa menjawab pertanyaan mereka dan akhirnya menyerah. Namun, yang terjadi malah sebaliknya.


Bertanya bukanlah hal yang sulit, jika kita mau mulai membiasakannya dari sekarang. Karena bertanya merupakan salah satu teknik belajar yang cukup efektif. Untuk itu, bertanyalah selagi masih ada kesempatan !!

Selasa, 03 September 2013

Remaja dan Kemerdekaan


Menjelang perayaan kemerdekaan 17 Agustus, ada satu pemandangan memprihatinkan di pinggir-pinggir jalan Raya atau perempatan Kota Bandung, yaitu para remaja yang mengumpulkan dana untuk kegiatan perayaan kemerdekaan dengan meminta-minta dari para pengguna jalan. Selain menghambat laju kendaraan, perilaku para remaja ini juga terkesan kurang simpatik. Karena sebagian remaja putrinya mempergunakan kesempatan ini untuk mejeng dengan menggunakan pakaian-pakaian yang mengumbar aurat.
Ada juga sebagian kelompok remaja tersebut yang menawarkan air mineral kemasan dengan harapan pengguna jalan memberikan uang lebih untuk mereka. Atau ada juga yang membalutnya dengan kreativitas ala mereka, seperti yang dipertontonkan para remaja di perempatan Pelajar Pejuang-Buah Batu. Mereka membalut tubuhnya dengan cat warna-warni sambil berpantomim menyodorkan kardus-kardus untuk diisi uang oleh para pengguna jalan.
Meski demikian, perilaku tersebut bukan berarti dapat dibenarkan. Karena selain mengganggu laju kendaraan, apa yang mereka lakukan justru memperlihatkan rendahnya daya juang dan kreativitas mereka dalam mencari dana. Sebenarnya masih banyak alternatif lain untuk menggalang dana. Mereka bisa berjualan berbagai jenis makanan atau produk olahan mereka sendiri atau orang lain. Mereka juga bisa berjuang lewat diplomasi untuk mendapatkan sponsor, atau cara-cara lain yang tidak bersifat meminta-minta.
Apalagi kegiatan yang mereka rancang tidak selamanya bersifat edukatif atau sosial. Sebagian besar remaja panitia kemerdekaan lebih menonjolkan acara yang bersifat hura-hura, seperti panggung hiburan yang diisi oleh pagelaran dangdut atau band yang tidak jarang diwarnai dengan mabuk-mabukan dan perkelahian. Kalau begini, dimana sisi penghayatan semangat perjuangan yang seharusnya menjadi inti dari perayaan kemerdekaan.
Kondisi di atas hanyalah sekelumit sisi negatif dari keterlibatan remaja dalam perayaan kemerdekaan. Terlepas dari semua itu, ada banyak sisi positif yang dapat dilihat dari partisipasi aktif para remaja ini. Salah satu tugas perkembangan pada masa remaja adalah mereka harus mampu serta dalam kegiatan kemasyarakatan dan memperlihatkan partisipasi aktif sebagai warga negara sebagai wujud dari tanggungjawab sosial mereka.
Secara psikologis, kondisi masa remaja merupakan masa awal kematangan menuju masa dewasa. Pada masa ini mereka harus sudah mampu memperoleh dasar-dasar perilaku yang bertanggungjawab sebagai dasar mereka memasuki masa dewasa. Baik itu bertanggungjawab secara pribadi, sosial, bahkan agama. Dalam kaitannya dengan peran sosial, remaja sering disebut sebagai agent of change atau agen perubahan. Dengan kemampuan nalar yang telah mampu memformulasikan konsep abstrak dan menginternalisasinya dalam kehidupan, remaja dituntut untuk mempu mengembangkan konsep-konsep hukum, pemerintahan, ekonomi, politik, geografi, serta lembaga sosial yang cocok dengan dunia modern. Remaja pun dituntut untuk mampu mengembangkan keterampilan nalar yang penting bagi upaya pemecahan masalah-masalah secara efektif.
Dalam istilah psikologi dikenal apa yang disebut dengan kognisi sosial, yaitu bagaimana seseorang membentuk konsep dan penalaran mengenai dunia sosial mereka, termasuk hubungan pribadinya dengan orang lain. Pada remaja, kognisi sosial banyak dipengaruhi oleh egosentrisme dan idealisme.
Egosentrisme adalah penyebab inti mengapa remaja seringkali berperilaku berani mengambil resiko tinggi dan tanpa pertimbangan terutama pada remaja yang lebih muda. Mereka memandang diri mereka kebal fisik, kebal sangsi hukum, serta tak terkalahkan. Sejalan dengan kematangan remaja, egosentrisme berubah menjadi lebih matang di mana remaja memahami dan mempertimbangkan berbagai resiko yang akan dihadapinya dalam setiap perbuatannya. Namun, hal itu bukan membuatnya menjadi takut berbuat, namun menjadi orang yang lebih berani menghadapi resiko yang sudah dipertimbangkannya.
Adapun idealisme mendorong remaja untuk membayangkan dunia idealnya yang bebas dan sepi dari berbagai kekacauan. Kedua kemampuan ini diharapkan mampu membawa remaja mampu mengembangkan keterampilan intelektual dan konsep-konsep yang diperlukan dalam merancang masa depan diri dan bangsanya.
Meskipun pada dasarnya, remaja telah memiliki potensi untuk terikat pada lingkungan sosialnya. Namun tidak mudah mengikat mereka dalam sebuah kelompok atau lembaga sosial dan membuatnya mampu dan mau berkorban untuk kelompok sosialnya. Apalagi dengan kemewahan dan warna-warni dunia saat ini. Jarang sekali kita dapat menemui remaja yang betul-betul mau terlibat dalam kegiatan sosial dan mau berkorban demi bangsa dan negaranya. Kalaupun ada, tidak sedikit dari mereka yang berperilaku peduli terhadap lingkungan sosialnya hanya sebagai konformitas belaka.
Lantas, dimana mengendapnya pembelajaran sosial, kewarganegaraan, atau Pancasila yang telah diberikan sejak di bangku Taman Kanak-kanak hingga tingkat Perguruan Tinggi. Bahkan di zaman Orde Baru yang lalu di setiap jenjang pendidikan, pemerintahan, serta penerimaan PNS selalu diberikan penataran P4. Hasilnya adalah para pejabat yang rela korupsi, pegawai negeri yang mau berkolusi, serta para pelajar yang senang ber-ekstasi.
Oleh karena itu, selain kognisi sosial dalam istilah psikologi juga dikenal istilah sosialisasi kognitif, yang lebih menekankan kepada peran lingkungan sosial dalam memupuk dan mengembangkan kemampuan nalar remaja untuk mampu menampilkan perilaku yang bertanggungjawab sebagai bagian dari lingkungan sosialnya. Lingkungan sosial memiliki peran untuk mendorong remaja memiliki kesadaran mau berkorban dan memberi penghargaan terhadap lingkungannya.
Jadi, jika kita melihat kondisi remaja sekarang yang cenderung senang kepada hura-hura dan kemewahan, bahkan seolah kehilangan kepekaan sosial tidak lain adalah bagian dari kondisi lingkungan sosialnya secara keseluruhan. Artinya, jika remaja Indonesia kurang memiliki kemampuan dan kemauan berkorban dan berjuang demi orang lain, lingkungannya bahkan lebih jauh demi bangsanya, tidak lain itu merupakan gambaran keseluruhan warga Indonesia.
Perayaan kemerdekaan yang dilakukan setiap tahun tidak mampu membangkitkan nasionalisme bangsa ini. Hingga 62 tahun negeri ini merdeka sulit sekali –bukan berarti tidak ada- menemukan remaja yang mampu memberikan perubahan berarti bagi kemajuan bangsa dan negaranya. Padahal jika kita melihat lagi ke belakang, berbagai upaya menuju kemerdekaan bangsa ini dahulu selalu diawali oleh para remajanya.
Ada sesuatu yang kurang dalam nasionalisme yang selama ini diusung dalam upaya membangkitkan kemauan dan kesadaran berjuang demi bangsa bagi para remaja. Pencekokan nilai-nilai nasionalisme yang disampaikan kepada para remaja tidak disertai dengan teladan dan perilaku nyata dari para penyampainya. Selain itu, tidak adanya nilai yang mampu menjadi “ruh” bagi nasionalisme yang seharusnya tertanam dalam diri remaja. “Ruh” yang dimaksud adalah nilai yang mampu mengikat dan menjadi dasar pegangan bagi para remaja dalam mengaplikasikan nasionalisme dalam kehidupannya. Ruh tersebut bersifat transenden dan merupakan bagian dari keyakinan hakiki.
Nilai yang dapat menjadi ruh tersebut adalah nilai-nilai yang didasarkan pada landasan agama yang merupakan keyakinan hakiki dan dapat menjadi pegangan serta penggerak bagi remaja dalam menumbuhkan kemampuan dan kemauan berjuang dan berkorban bagi bangsanya. Hal ini menunjukkan penanaman nilai-nilai nasionalisme harus dilandasi dan diawali dengan penanaman nilai-nilai agama dalam diri remaja.
Sejarah membuktikan perjuangan yang dilandasi tidak semata dengan nilai kebangsaan, namun dilandasi dengan nilai-nilai agama mampu melahirkan para pejuang yang rela berkorban sampai titik darah penghabisan. Mereka menjadi orang-orang yang lebih mencintai kematian dalam berjuang.

Semoga di tahun ke 68 Indonesia merdeka, hal ini telah mampu disadari oleh berbagai elemen bangsa. Sehingga, mampu melahirkan para remaja penerus bangsa yang siap berjuang dan berkorban demi mencapai kemerdekaan yang sejati.

Minggu, 01 September 2013

Kiprah Muslimah di Luar Rumah

Setiap mulsimah selayaknya meyakini bahwa tugas utamanya sebagai seorang istri adalah menjadi "ro'iyyah" di rumah suaminya.
Idealisme seorang muslimah setelah menikah adalah bagaimana melayani suami dengan penuh keta'atan dan mendidik anak-anaknya dengan cara yang terbaik yang dia mampu.
Baru setelah rumah 'terkendali' dia berpikir untuk berkiprah di luar rumah.
Salah besar jika sebelum menikah saja idealismenya mengatakan bahwa dia tidak ingin menjadi wanita yang hanya mengurus rumah saja... HATI-HATI terhadap infiltrasi pemikiran kaum FEMINIS!!

Dan para suami selayaknya memberikan ruang bagi istrinya untuk melakukan aktifitas di luar rumah
Rasulullah SAW mengisyaratkan hal tersebut saat memerintahkan para sahabat laki-laki untuk memberi izin kepada istri dan putri mereka ikut shalat berjama'ah di mesjid.
Yang perlu menjadi catatan, aktifitas para istri di luar rumah haruslah berorientasi ibadah.

Untuk itu penting bagi para muslimah mengevaluasi kembali kiprah mereka di luar rumah.
Apakah saat kita aktif di luar rumah, kondisi rumah kita sudah 'terkendali'?
Sudahkah anak-anak mendapatkan pengasuhan yang tepat dari kita?
Sudahkah suami mendapatkan keta'atan dari kita?
Serta
Betulkah orientasi aktifitas kita di luar rumah memang hanya untuk ibadah?
Adakah terbersit orientasi-orientasi duniawi di sana?

Sedangkan bagi yang belum menikah, yang harus menjadi pijakan utama saat berkiprah di luar rumah adalah 'Birrul walidain'
Karena ridlo Allah ada pada ridlo orangtua.
Serta orientasi ibadah yang juga harus menjadi landasan berpijak untuk memulai aktifitas di luar rumah.

Wallahu 'alam bishshawab