Menjelang perayaan kemerdekaan
17 Agustus, ada satu pemandangan memprihatinkan di pinggir-pinggir jalan Raya
atau perempatan Kota Bandung, yaitu para remaja yang mengumpulkan dana untuk
kegiatan perayaan kemerdekaan dengan meminta-minta dari para pengguna jalan.
Selain menghambat laju kendaraan, perilaku para remaja ini juga terkesan kurang
simpatik. Karena sebagian remaja putrinya mempergunakan kesempatan ini untuk mejeng
dengan menggunakan pakaian-pakaian yang mengumbar aurat.
Ada juga sebagian kelompok
remaja tersebut yang menawarkan air mineral kemasan dengan harapan pengguna
jalan memberikan uang lebih untuk mereka. Atau ada juga yang membalutnya dengan
kreativitas ala mereka, seperti yang dipertontonkan para remaja di perempatan
Pelajar Pejuang-Buah Batu. Mereka membalut tubuhnya dengan cat warna-warni
sambil berpantomim menyodorkan kardus-kardus untuk diisi uang oleh para
pengguna jalan.
Meski demikian, perilaku
tersebut bukan berarti dapat dibenarkan. Karena selain mengganggu laju
kendaraan, apa yang mereka lakukan justru memperlihatkan rendahnya daya juang
dan kreativitas mereka dalam mencari dana. Sebenarnya masih banyak alternatif
lain untuk menggalang dana. Mereka bisa berjualan berbagai jenis makanan atau produk
olahan mereka sendiri atau orang lain. Mereka juga bisa berjuang lewat
diplomasi untuk mendapatkan sponsor, atau cara-cara lain yang tidak bersifat
meminta-minta.
Apalagi kegiatan yang mereka
rancang tidak selamanya bersifat edukatif atau sosial. Sebagian besar remaja
panitia kemerdekaan lebih menonjolkan acara yang bersifat hura-hura, seperti
panggung hiburan yang diisi oleh pagelaran dangdut atau band yang tidak jarang
diwarnai dengan mabuk-mabukan dan perkelahian. Kalau begini, dimana sisi
penghayatan semangat perjuangan yang seharusnya menjadi inti dari perayaan
kemerdekaan.
Kondisi di atas hanyalah
sekelumit sisi negatif dari keterlibatan remaja dalam perayaan kemerdekaan.
Terlepas dari semua itu, ada banyak sisi positif yang dapat dilihat dari partisipasi
aktif para remaja ini. Salah satu tugas perkembangan pada masa remaja adalah
mereka harus mampu serta dalam kegiatan kemasyarakatan dan memperlihatkan
partisipasi aktif sebagai warga negara sebagai wujud dari tanggungjawab sosial
mereka.
Secara psikologis, kondisi
masa remaja merupakan masa awal kematangan menuju masa dewasa. Pada masa ini
mereka harus sudah mampu memperoleh dasar-dasar perilaku yang bertanggungjawab
sebagai dasar mereka memasuki masa dewasa. Baik itu bertanggungjawab secara pribadi,
sosial, bahkan agama. Dalam kaitannya dengan peran sosial, remaja sering
disebut sebagai agent of change atau agen perubahan. Dengan kemampuan
nalar yang telah mampu memformulasikan konsep abstrak dan menginternalisasinya
dalam kehidupan, remaja dituntut untuk mempu mengembangkan konsep-konsep hukum,
pemerintahan, ekonomi, politik, geografi, serta lembaga sosial yang cocok
dengan dunia modern. Remaja pun dituntut untuk mampu mengembangkan keterampilan
nalar yang penting bagi upaya pemecahan masalah-masalah secara efektif.
Dalam istilah psikologi
dikenal apa yang disebut dengan kognisi sosial, yaitu bagaimana seseorang
membentuk konsep dan penalaran mengenai dunia sosial mereka, termasuk hubungan
pribadinya dengan orang lain. Pada remaja, kognisi sosial banyak dipengaruhi
oleh egosentrisme dan idealisme.
Egosentrisme adalah penyebab
inti mengapa remaja seringkali berperilaku berani mengambil resiko tinggi dan
tanpa pertimbangan terutama pada remaja yang lebih muda. Mereka memandang diri
mereka kebal fisik, kebal sangsi hukum, serta tak terkalahkan. Sejalan dengan
kematangan remaja, egosentrisme berubah menjadi lebih matang di mana remaja
memahami dan mempertimbangkan berbagai resiko yang akan dihadapinya dalam
setiap perbuatannya. Namun, hal itu bukan membuatnya menjadi takut berbuat,
namun menjadi orang yang lebih berani menghadapi resiko yang sudah
dipertimbangkannya.
Adapun idealisme mendorong
remaja untuk membayangkan dunia idealnya yang bebas dan sepi dari berbagai
kekacauan. Kedua kemampuan ini diharapkan mampu membawa remaja mampu
mengembangkan keterampilan intelektual dan konsep-konsep yang diperlukan dalam
merancang masa depan diri dan bangsanya.
Meskipun pada dasarnya, remaja telah memiliki
potensi untuk terikat pada lingkungan sosialnya. Namun tidak mudah mengikat
mereka dalam sebuah kelompok atau lembaga sosial dan membuatnya mampu dan mau
berkorban untuk kelompok sosialnya. Apalagi dengan kemewahan dan warna-warni
dunia saat ini. Jarang sekali kita dapat menemui remaja yang betul-betul mau terlibat
dalam kegiatan sosial dan mau berkorban demi bangsa dan negaranya. Kalaupun
ada, tidak sedikit dari mereka yang berperilaku peduli terhadap lingkungan
sosialnya hanya sebagai konformitas belaka.
Lantas, dimana mengendapnya
pembelajaran sosial, kewarganegaraan, atau Pancasila yang telah diberikan sejak
di bangku Taman Kanak-kanak hingga tingkat Perguruan Tinggi. Bahkan di zaman
Orde Baru yang lalu di setiap jenjang pendidikan, pemerintahan, serta
penerimaan PNS selalu diberikan penataran P4. Hasilnya adalah para pejabat yang
rela korupsi, pegawai negeri yang mau berkolusi, serta para pelajar yang senang
ber-ekstasi.
Oleh karena itu, selain
kognisi sosial dalam istilah psikologi juga dikenal istilah sosialisasi
kognitif, yang lebih menekankan kepada peran lingkungan sosial dalam memupuk dan
mengembangkan kemampuan nalar remaja untuk mampu menampilkan perilaku yang
bertanggungjawab sebagai bagian dari lingkungan sosialnya. Lingkungan sosial memiliki
peran untuk mendorong remaja memiliki kesadaran mau berkorban dan memberi
penghargaan terhadap lingkungannya.
Jadi, jika kita melihat
kondisi remaja sekarang yang cenderung senang kepada hura-hura dan kemewahan,
bahkan seolah kehilangan kepekaan sosial tidak lain adalah bagian dari kondisi
lingkungan sosialnya secara keseluruhan. Artinya, jika remaja Indonesia kurang
memiliki kemampuan dan kemauan berkorban dan berjuang demi orang lain,
lingkungannya bahkan lebih jauh demi bangsanya, tidak lain itu merupakan
gambaran keseluruhan warga Indonesia.
Perayaan kemerdekaan yang
dilakukan setiap tahun tidak mampu membangkitkan nasionalisme bangsa ini.
Hingga 62 tahun negeri ini merdeka sulit sekali –bukan berarti tidak ada- menemukan
remaja yang mampu memberikan perubahan berarti bagi kemajuan bangsa dan
negaranya. Padahal jika kita melihat lagi ke belakang, berbagai upaya menuju
kemerdekaan bangsa ini dahulu selalu diawali oleh para remajanya.
Ada sesuatu yang kurang dalam
nasionalisme yang selama ini diusung dalam upaya membangkitkan kemauan dan
kesadaran berjuang demi bangsa bagi para remaja. Pencekokan nilai-nilai
nasionalisme yang disampaikan kepada para remaja tidak disertai dengan teladan
dan perilaku nyata dari para penyampainya. Selain itu, tidak adanya nilai yang
mampu menjadi “ruh” bagi nasionalisme yang seharusnya tertanam dalam diri
remaja. “Ruh” yang dimaksud adalah nilai yang mampu mengikat dan menjadi dasar
pegangan bagi para remaja dalam mengaplikasikan nasionalisme dalam
kehidupannya. Ruh tersebut bersifat transenden dan merupakan bagian dari
keyakinan hakiki.
Nilai yang dapat menjadi ruh
tersebut adalah nilai-nilai yang didasarkan pada landasan agama yang merupakan keyakinan
hakiki dan dapat menjadi pegangan serta penggerak bagi remaja dalam menumbuhkan
kemampuan dan kemauan berjuang dan berkorban bagi bangsanya. Hal ini
menunjukkan penanaman nilai-nilai nasionalisme harus dilandasi dan diawali dengan
penanaman nilai-nilai agama dalam diri remaja.
Sejarah membuktikan perjuangan
yang dilandasi tidak semata dengan nilai kebangsaan, namun dilandasi dengan nilai-nilai
agama mampu melahirkan para pejuang yang rela berkorban sampai titik darah
penghabisan. Mereka menjadi orang-orang yang lebih mencintai kematian dalam
berjuang.
Semoga di tahun ke 68 Indonesia merdeka, hal ini telah mampu
disadari oleh berbagai elemen bangsa. Sehingga, mampu melahirkan para remaja
penerus bangsa yang siap berjuang dan berkorban demi mencapai kemerdekaan yang
sejati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar