Istilah khitbah saat ini sudah tidak asing lagi di kalangan masyarakat
Islam khususnya. Namun, fenomena khitbah yang terjadi di masyarakat tersebut
banyak yang bercampur dengan kebiasaan-kebiasaan yang salah dan menyimpang dari
hakikat khitbah sebenarnya. Tulisan ini akan mencoba menyoroti sedikit fenomena
tersebut untuk kemudian meluruskan dan mengembalikan makna khitbah yang
sebenarnya.
Khitbah atau yang lebih dikenal dengan lamaran merupakan satu langkah
menuju proses pernikahan. Menurut Syaikh Sayyid Sabiq dalam Kitab Fiqhussunnah,
khitbah merupakan proses awal sebelum menikah, dimana seorang laki-laki
mengutarakan keinginannya untuk menikahi seorang perempuan. Khitbah
bisa dilakukan dengan berbagai cara yang lazim dilakukan, dengan tetap
memperhatikan batasan-batasan syar’i.
Ada dua hal yang harus dilakukan saat khitbah, yaitu : (1) melihat rupa,
dan (2) ta’aruf. Melihat rupa dianjurkan oleh Rasulullah melalui sabdanya,
أن
النبي ص قال : لرجل تزوج امرأة أ نظرت
إليها؟ قال : لا.قال : اذهب فانظر إليها –رواه
مسلم-
“Sesungguhnya
Nabi saw bersabda -kepada seorang laki-laki yang hendak menikahi seorang
perempuan- : Sudahkah kau lihat dia? Dia menjawab: Tidak. Rasul bersabda :
Pergilah dan lihatlah dia” (HR Muslim).
Para ulama bersepakat
bahwa melihat di sini adalah melihat apa yang nampak saja yaitu wajah dan
telapak tangan, tidak lebih dari itu. Sedangkan taaruf merupakan upaya untuk
mengenal sifat, kebiasaan serta aktivitas masing-masing. Bisa melalui obrolan
langsung atau melalui perantara orang yang mengenal dekat calon pasangan. Baik
melihat atau taaruf harus dilakukan oleh kedua belah pihak, agar muncul adanya
rasa tertarik dan kecocokan yang akan menumbuhkan mawaddah dalam hidup
berumahtangga.
Salah satu fenomena yang terjadi sekarang adalah
proses khitbah atau lamaran justru baru dilakukan setelah kedua belah pihak
telah mengenal sejak lama bahkan telah menjalin sebuah hubungan. Padahal Islam
mensyariatkan khitbah sebagai sarana untuk mengenal dan memulai sebuah hubungan
yang akan dilanjutkan dengan pernikahan. Taaruf dilakukan manakala
telah ada keinginan dan niat untuk menikahi seorang perempuan. Tidak ada
syariat lain selain khitbah sebelum memasuki jenjang pernikahan, termasuk
pacaran yang bukan merupakan tradisi Islam.
Sebagai langkah awal menuju pernikahan, artinya
khitbah haruslah dilanjutkan segera dengan pernikahan. Jika kedua belah pihak
telah mengenal dan merasakan adanya kecocokan, menikah merupakan kewajiban bagi
keduanya. Hal ini merupakan tanggungjawab orangtua atau wali untuk segera
menikahkan putrinya manakala telah menemukan seseorang yang cocok dengannya.
Mensegerakan nikah dalam situasi seperti ini menjadi kewajiban sebagai upaya
preventif munculnya fitnah.
Khitbah hanyalah proses menuju pernikahan dan tidak sama dengan nikah,
artinya khitbah tidak menghalalkan apa pun yang dihalalkan setelah
menikah. Fenomena yang terjadi -bahkan di kalangan aktivis organisasi
Islam- pasangan yang telah melakukan khitbah merasa bebas untuk pergi berduaan
tanpa muhrimnya, bahkan naik kendaraan bermotor berdua. Khalwat atau berdua-duaan bukan saja haram dilakukan
di tempat sepi, bahkan di keramaian. Sebagaimana Rasul telah menegaskan,
من كان يؤمن بالله و اليوم الأخر فلا يخلون بامرأة
ليس معها ذو محرم منها فإن ثالثها الشيطان
“Barang siapa yang beriman kepada Allah
dan Hari Akhir, maka janganlah berdua-duaan dengan perempuan tanpa ada
muhrimnya yang menemani (khalwat), karena sesungguhnya Syetanlah yang
ketiganya”.
Islam selalu
mengajarkan umatnya untuk menghindari madharat dengan berbagai cara yang tidak
menimbulkan mafsadat. Khalwat merupakan salah satu cara preventif untuk
melindungi kehormatan serta kesucian diri dan hati setiap insan. Khalwat tetap
haram dilakukan walaupun tidak diiringi dengan pegangan tangan bahkan yang
lebih dari itu. Tidak ada hal yang dapat menggugurkan hukum khalwat
kecuali kondisi madharat, yang dapat menimbulkan mafsadat yang lebih besar,
seperti kecelakaan, kematian, dan sebagainya. Salah satu contohnya apa
yang terjadi pada Siti Aisyah dan Shafwan bin Mu’aththol. Waktu itu Siti Aisyah
tertinggal dari rombongan, dan ditemukan oleh Shafwan. Siti Aisyah kemudian
diantar pulang oleh Shafwan sampai ke Madinah.
Seseorang tidak
boleh mengkhitbah wanita yang telah dikhitbah oleh laki-laki lain. Begitu pula
sebaliknya seorang wanita tidak boleh menerima khitbah seseorang, manakala dia
telah menerima khitbah orang lain. Khitbah bersifat mengikat, namun ikatan
dalam khitbah -sekali lagi- tidak menghalalkan apa pun yang dihalalkan setelah
menikah. Untuk itu ikatan dalam khitbah pun tidak se-“mutlak” ikatan
dalam pernikahan. Pembatalan khitbah dapat dilakukan kapan saja,
manakala salah satu pihak merasakan ketidakcocokan terhadap pilihan tersebut.
Namun, Sayyid Sabiq menegaskan bahwa khitbah yang telah disepakati merupakan
sebuah janji. Jika seorang muslim menyalahi janjinya, maka itu merupakan ciri
orang munafiq. Kemudian muncul pertanyaan bagaimana dengan pemberian yang biasa
diberikan saat khitbah, jika khitbah dibatalkan. Maka, lebih lanjut Sayyid
Sabiq menyatakan bahwa yang namanya pemberian itu tidak boleh diambil kembali,
sesuai sabda Rasul,
العائد في هبته كالعائد في قيئه – رواه
أصحاب السنن –
“Orang yang meminta kembali pemberiannya bagaikan orang yang
meminum kembali muntahnya”
Sebenarnya pemberian dalam khitbah tidak
termasuk apa yang disyariatkan, hanya sebuah kebiasaan yang boleh
dilakukan selama tidak bertentangan dengan syariat. Sebagaimana penyelenggaraan
upacara khusus untuk khitbah pun tidak disyariatkan, berbeda dengan
akad nikah yang memang dicontohkan oleh Rasul. Karena saat seorang laki-laki
mengutarakan maksudnya untuk menikahi seorang perempuan, itulah khitbah. Kalau
pun diselenggarakan sebuah upacara khusus untuk itu, tidak mengapa selama tidak
berlebihan dan tidak bertentangan dengan syariat.
Menikah merupakan sunnah Rasul yang paling diminati. Selain bertujuan
sebagai upaya pemenuhan kebutuhan biologis, Islam mengajarkan agar menikah
dilakukan dengan orientasi ibadah, guna mewujudkan keluarga sakinah, masyarakat
tumaninah, dan negara yang maghfirah. Tahapan untuk mewujudkan keluarga sakinah
mawaddah wa rahmah bukan dimulai setelah akad dilangsungkan, namun semenjak
kita memilih calon pasangan. Bukan saja dalam menentukan kriteria calon
pasangan tapi cara kita memilih dan mendapatkan pasangan pun ikut menentukan.
Bukankah hasil yang baik akan dipetik dari usaha yang baik pula ? wallahu’alambishshawwab
Maraji’ :
Syaikh Sayyid Sabiq. Fiqhussunnah
Jilid 2. Darul fikr
KH Aceng Zakaria. Tarbiyah
an-Nisa. Ibnazka press
#ODOPfor99days
#day95