Membuka beberapa catatan lama, tidak sengaja saya menemukan sedikit tulisan tentang pengalaman berdakwah di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS). Kegiatan ini dulu saya lakukan sekitar 2 tahun, sejak 2009 hingga 2011. Saat itu saya memegang amanah sebagai Ketua Pemudi Persis tingkat Kota Bandung. Kegiatan ini diselenggarakan di Lapas Wanita milik Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang terletak di Arcamanik. Berikut isi catatan tersebut.
Adapun pembinaan yang kami
lakukan adalah pembinaan baca tulis Qur'an dengan menggunakan metode IQRA'. Namun
akhirnya berkembang karena banyaknya permintaan dari WB. Kami juga memberikan
materi tauhid, ibadah, akhlaq, bahkan materi metode tabligh. Kami menggunakan
metode tutor/mentoring, dimana WB dibagi dalam beberapa kelompok sesuai dengan
tingkat kemampuan bacaan al-Qur'an serta pemahaman terhadap Al-Islam. Tiap
kelompok rata-rata terdiri atas 20-30 orang
dan didampingi oleh dua orang mentor.
Pembinaan keagamaan di lapas
berada di bawah Kepala Seksi Sub Bimbingan Kemasyarakatan dan Perawatan (Kasi
Sub Kemaswat) yang bertanggungjawab kepada Kepala Seksi Pembinaan Narapidana
dan Anak Didik (Kasi Binadik). Di Lapas Wanita Bandung -di mana kami
beraktifitas- pembinaan keagamaan lebih banyak diwarnai oleh pihak luar Lapas.
Pembinaan dari Lapas sendiri tidak terpola dengan baik. Hal ini terlihat dari
jenis kegiatannya. Pembinaan keagamaan yang diselenggarakan oleh Lapas hanya
dzikir dan do'a bersama serta kultum dari Pembina. Pembinaan keagamaan lainnya
diselenggarakan oleh pihak-pihak di luar Lapas salah satunya kami dari Pemudi
Persis.
Namun, menurut pengakuan
dari sebagian besar WB metode yang digunakan dalam pembinaan keagamaan biasanya
hanya ceramah. Sehingga terkesan kaku dan monoton, serta tidak adanya evaluasi
yang terpola untuk mengetahui sejauh mana tingkat penerimaan serta penyerapan
WB terhadap materi yang diberikan. Bagi mereka pola pembinaan seperti itu
membosankan dan tidak sesuai dengan apa yang mereka butuhkan.
Kesulitan utama yang kami
hadapi adalah heterogenitas WB yang cukup kompleks, mulai dari latar belakang
masalah, latar belakang social-ekonomi, latar belakang pendidikan, serta latar
belakang keagamaan mereka. Jumlah WB yang ada di Lapas ini saat kami masuk
Januari 2009 sekitar 100 orang, dan terus bertambah hampir setiap hari hingga
sekarang mencapai 200 orang. Meski banyak pula yang sudah keluar, tapi yang
masuk lebih banyak dari yang keluar. Hal ini juga dikarenakan Lapas ini adalah
Lapas baru yang diperuntukkan bagi Napi Wanita se-Jawa Barat. Oleh karena itu,
mereka datang dari berbagai daerah.
Kasus yang menyebabkan
mereka ada di Lapas ini adalah kasus pidana dan perdata. Kasus pidana sebagian
besar adalah narkoba, baik sebagai pengedar, pemakai, atau keduanya. Selain itu
ada pula kasus pencurian, pembunuhan, korupsi, penggelapan, trafficking, dan
lainnya. Selain berbeda kasusnya berbeda pula tingkat kejahatannya, ada yang
memang profesi, ikut-ikutan, hanya terlibat bahkan ada pula yang tidak tahu
bahwa apa yang dilakukannya salah di mata hukum.
Tingkat sosial ekonomi juga
beragam, mulai dari sekedar buruh cuci pakaian, sampai pejabat serta kalangan
ekonomi atas. Yang menarik banyak di antara mereka yang sudah naik haji, dan tanpa
malu-malu menginginkan supaya gelar "Hajjah" tidak dihilangkan di
depan nama mereka karena terkait dengan status sosial.
Keberagaman juga terlihat
pada latar belakang keagamaan mereka. Karena ternyata tidak sedikit di antara
mereka yang sudah memiliki pemahaman dan pengetahuan yang baik tentang agama,
berlatar belakang pendidikan pesantren, atau yang berasal dari keluarga
beragama. Sebaliknya banyak pula di antara mereka yang awam dan buta terhadap
agama, tidak mampu sama sekali membaca al-Qur'an dan tidak bisa melakukan
shalat. Mereka yang awam terhadap agama, bukan hanya orang yang berpendidikan
rendah, namun ada pula yang sudah mengenyam S2 tapi tidak tahu huruf hijaiyyah.
Kompleksitas tersebut
memunculkan keragaman kebutuhan yang harus dipenuhi. Sehingga seringkali
menyulitkan kami dalam menentukan materi. Kehausan mereka akan ilmu agama
rata-rata cukup tinggi. Mereka hidup di dalam Lapas tanpa mengetahui dunia di
luar mereka, untuk kebutuhan dasar seperti makan dan istirahat sudah tersedia.
Sehingga, sebenarnya tidak ada beban ekonomi yang harus mereka pikul. Hal ini merupakan
peluang untuk mereka mempelajari apa yang mereka lupakan selama mereka berada
di luar Lapas.
Meskipun demikian, ada juga
di antara mereka yang bersikap acuh terhadap pembinaan keagamaan, karena masih
berkutat dengan isi perut. Orang-orang seperti ini yang sering termanfaatkan
oleh para missionaris yang banyak bertebaran di Lapas. Para Pembina keagamaan
Nashrani mendatangi Lapas setiap hari. Mereka seringkali datang dengan membawa
berbagai bingkisan yang dibagikan ke seluruh penghuni Lapas. Bahkan mereka
mendatangkan empat orang dokter untuk memenuhi kebutuhan tim kesehatan di Lapas
tanpa bayaran sepeser pun.
Selain kendala
heterogenitas, kami juga mengalami kendala pendanaan kegiatan. Karena pembinaan
yang kami berikan di Lapas merupakan sebuah pengabdian. Berbeda dengan
berdakwah di pengajian-pengajian umum yang pulang membawa bungkusan, berdakwah di
Lapas justru kita yang harus membawa bungkusan. Bukan hanya pengorbanan waktu,
tenaga, dan pikiran saja tapi pengorbanan harta juga kami alami dalam
perjalanan dakwah di Lapas.
Hal ini menjadi romantika
tersendiri bagi kami sebagai sebuah sarana pelajaran hidup dan yang pasti sebagai
sarana kami mengabdi pada Yang Maha Tinggi. Pendanaan kegiatan merupakan salah
satu kendala yang kami alami. Meskipun begitu, kami tetap berusaha melanjutkan
pembinaan ini. Ada di antara organisasi yang ikut mengabdi di Lapas ini sudah
menghentikan kegiatan dakwahnya karena masalah dana. Kami tidak berharap hal
ini juga terjadi pada kami. Untuk itu kami sangat menantikan uluran bantuan
dari berbagai pihak demi keberlangsungan dakwah kami. Dan semoga kegiatan kami
mampu dipandang secara positif dan diikuti oleh yang lainnya, sehingga tidak
hanya menjadi wacana dan tulisan semata.
Wallahu 'Alam.
#ODOPfor99days
#day63